SUMATERA -Pukul 02.53 WIB, Jumat dini hari, bumi Bengkulu kembali berguncang. Tanpa aba-aba, tidur warga terbelah oleh getaran magnitudo 6,3 yang datang dari kedalaman 10 kilometer, 43 kilometer di barat daya pesisir kota. Cangkir-cangkir berderak, pintu lemari bergoyang, dan doa lirih terucap di antara rasa panik.
Namun bagi Sumatra, ini bukan hal baru. Gempa bukan lagi tamu tak diundang, melainkan penghuni lama yang sesekali mengetuk dinding rumah. Sumatra, pulau yang indah namun gelisah, telah lama menyimpan luka-luka yang diukir oleh patahan bumi—terutama oleh Sesar Besar Sumatra yang membentang sepanjang 1.900 kilometer, dari ujung selatan hingga utara pulau.
Jejak panjang ini dimulai jauh sebelum internet mengenal gempa sebagai trending topic. Tahun 1994, Liwa di Lampung Barat runtuh dalam sekejap. Gempa magnitudo 7,0 menewaskan 207 orang. Lebih dari 75.000 orang kehilangan rumah. Malam itu, gempa tak hanya menggoyang tanah, tapi juga mengubur kenangan.
Setahun kemudian, Oktober 1995, Kabupaten Kerinci, Jambi, mengalami nasib serupa. Gempa 6,8 mengguncang dan meruntuhkan ribuan rumah. 84 nyawa tak terselamatkan. Anak-anak tidur di halaman, orang tua berjaga tanpa kepastian.
Namun luka terdalam Sumatra tercetak pada 26 Desember 2004. Aceh menjadi pusat dunia, bukan karena prestasi, tapi karena tragedi. Gempa megathrust 9,1 di dasar laut memicu tsunami maha dahsyat. Lebih dari 220.000 jiwa hilang. Kota-kota hancur, dan pantai berubah menjadi kuburan massal. Gelombangnya menjalar lintas negara, dan sejak hari itu, dunia pun mulai bicara soal sistem peringatan dini.
Tahun 2007, Solok diguncang dua kali dalam satu hari. Gempa kembar 6,4 dan 6,3 menyapu rumah dan sekolah, bahkan terasa hingga Singapura. Lalu di tahun 2022, Pasaman Barat terbangun oleh gempa darat berkekuatan 6,2. Lebih dari 13.000 orang harus mengungsi. Di Nagari Kajai dan Talu, tangis mengiringi reruntuhan rumah.
Tak lama berselang, giliran Tarutung di Tapanuli Utara yang dilanda gempa 6,0 pada dini hari. Rumah dan rumah ibadah roboh. Bahkan bangunan yang dibangun dengan doa, tak mampu bertahan jika tidak ditopang dengan perhitungan geologi.
Dan kini, Bengkulu kembali menggeliat. Guncangan terbaru menjadi pengingat bahwa Sumatra tidak pernah benar-benar tidur dari potensi seismiknya. Jejak-jejaknya seperti luka lama yang belum sembuh, menunggu waktu untuk kembali berdarah.
Namun dari luka itu, lahirlah pelajaran. Hari ini, warga tak hanya berlari ketika tanah bergoyang. Mereka kini belajar membaca tanda. Anak-anak diajari berteduh di bawah meja, bukan hanya di bawah pohon. Sirine, peta rawan bencana, hingga pelatihan evakuasi, semua menjadi bagian dari hidup di tanah yang selalu bergerak.
Sumatra, pulau yang hijau dan gagah di peta, sesungguhnya adalah pulau yang rentan. Ia memikul dua lempeng besar di punggungnya, dan sesar aktif di bawah kulitnya. Tapi di atas tanah ini pula, manusia terus membangun harapan: rumah, sekolah, masjid, dan masa depan.
Jika bumi adalah buku sejarah, maka Sumatra adalah halaman yang ditandai dengan tinta gempa. Setiap guncangan adalah catatan baru, tapi juga pengingat bahwa di tanah yang bergerak ini, kita semua harus belajar hidup lebih siaga.
Sejarah mencatat
Pulau Sumatra kembali diingatkan akan wajah geologisnya yang penuh dinamika setelah gempa bermagnitudo 6,3 mengguncang Bengkulu pada 23 Mei 2025. Guncangan ini bukan peristiwa tunggal, melainkan bagian dari jejak panjang gempa besar yang membentang dari utara hingga selatan pulau. Dari kawasan Gunung Toba di Sumatra Utara hingga Gunung Krakatau di ujung selatan, Sumatra menyimpan catatan bencana yang mengubah sejarah.
Yang paling monumental adalah gempa dan tsunami Aceh 2004, dengan magnitudo 9,1–9,3, yang menewaskan lebih dari 220.000 orang. Setahun berselang, gempa Nias–Simeulue (M 8,6) kembali mengguncang pantai barat Sumut. Di selatan, gempa Liwa 1994 menelan 207 korban jiwa, sedangkan gempa Padang 2009 meruntuhkan ribuan bangunan di Sumatera Barat.
Wilayah Gunung Kerinci pun tak luput: gempa Jambi 1995 (M 6,8) meluluhlantakkan Kerinci dan sekitarnya. Sementara itu, letusan Gunung Krakatau 1883 meski tidak terukur secara seismik menimbulkan tsunami dahsyat yang menewaskan lebih dari 36.000 jiwa.
Dengan panjang 1.900 km, Sesar Sumatra dan zona subduksi di barat pulau menjadikan Sumatra sebagai salah satu kawasan paling aktif secara tektonik di dunia. Catatan ini menegaskan bahwa kesiapsiagaan bencana bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak bagi jutaan jiwa yang hidup di atas patahan bumi yang terus bergerak.(SM)