Sunday, 18 May 2025

Kekayaan Pulau Sumatra Yang tidak ada ditempat Lain

Sumatera, Pulau Emas yang Terlupakan

Di tengah hiruk pikuk Indonesia yang terus bergerak cepat dalam pembangunan, Pulau Sumatera sering kali hadir sebagai latar belakang sunyi, tenang, namun menyimpan letupan kekayaan alam yang tidak banyak diketahui.
Pulau Sumatra yang membentang sepanjang lebih dari 1.700 kilometer dari utara ke selatan ini, seolah-olah hanya menjadi jalur lintasan logistik dan lahan ekspansi perkebunan. Padahal, dari akar hingga pucuk daunnya, Sumatera menyimpan harta karun yang unik dan, dalam banyak hal, tak tergantikan.

Di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah, pagi hari bukan hanya dimulai dengan azan dan derit pintu kayu. Aroma kopi menyeruak dari celah-celah rumah panggung dan kebun yang dibalut kabut. Di sinilah kopi Gayo, salah satu kopi terbaik dunia, lahir dari tangan petani-petani gigih yang tidak sekadar menanam, tapi merawat tradisi. Kopi ini punya karakter unik: tubuhnya kuat, keasamannya rendah, dan aftertaste-nya bersih. Bagi dunia, ini adalah komoditas mewah. Bagi masyarakat Gayo, ini adalah warisan.

“Setiap biji kopi yang kami tanam adalah cerita tentang tanah dan keluarga,” kata Rahmat, seorang petani kopi generasi ketiga di Aceh Tengah. “Kopi ini bukan cuma untuk dijual, ini kebanggaan kami.”

Namun Sumatera tak hanya tentang kopi. Di barat Aceh, tanah-tanah basah di Nagan Raya dan Aceh Barat menyimpan batu hijau yang menakjubkan: giok. Batu nefrit ini tak hanya indah, tapi langka. Kualitasnya disebut-sebut sejajar dengan giok Myanmar dan Tiongkok, namun keberadaannya nyaris tidak dikenal di luar komunitas pengrajin lokal. Sejak booming batu akik beberapa tahun lalu, giok Aceh makin dicari, namun eksploitasi liar juga mengancam kelestariannya.

Di perbatasan Sumatera Barat dan Jambi, hamparan pohon kayu manis tumbuh mengelilingi kawasan Kerinci. Dari kulit kayu inilah kayu manis cinnamon diekstrak. Indonesia adalah pengekspor kayu manis terbesar dunia, dan lebih dari separuhnya berasal dari kawasan ini. Kayu manis Kerinci memiliki aroma yang lebih kompleks dan manis dibanding daerah lain, menjadikannya favorit pasar Eropa dan Amerika.

Exif_JPEG_420

Masih di barisan rempah-rempah, Sumatera juga dikenal sebagai rumah nilam Aceh, penghasil minyak atsiri beraroma tajam yang digunakan dalam industri parfum kelas dunia. Petani nilam bekerja keras menyuling daun-daun kecil menjadi tetesan minyak yang bernilai tinggi.

Satu liter minyak nilam bisa dihargai hingga jutaan rupiah di pasar internasional, tetapi harga jual di tingkat petani masih memprihatinkan. “Kami tahu nilam Aceh dicari dunia, tapi kami masih berjuang dapatkan harga layak,” keluh Khaidir, petani di Gayo.

Di sisi selatan, hutan-hutan Bengkulu dan Sumatera Selatan menghasilkan damar mata kucing dan damar tangkawang resin alami yang dipakai dalam industri kosmetik, cat, bahkan bahan makanan. Pohon-pohon tua disadap secara tradisional, resin ditampung dalam wadah bambu, lalu dijual ke pengepul. Di tengah gempuran industri modern, teknik ini bertahan sebagai cara hidup masyarakat hutan.

Namun apa yang benar-benar membedakan Sumatera adalah keberadaan flora dan fauna endemik yang tidak ditemukan di pulau lain. Harimau Sumatera, satu-satunya subspesies harimau yang tersisa di Indonesia, kini hidup di ambang kepunahan. Gajah Sumatera, orangutan Tapanuli, dan badak Sumatera sama-sama terdesak oleh deforestasi dan alih fungsi lahan. Di antara semak-semak basah dan hutan tropis lebat, bunga Rafflesia arnoldii, bunga terbesar di dunia, merekah hanya beberapa hari dalam setahun tanda bahwa keajaiban masih ada, meski ringkih.

Namun, semua kekayaan ini terancam oleh satu hal lupa. Lupa bahwa Sumatera adalah tulang punggung Indonesia di masa lampau dan bisa menjadi pilar masa depan. Lupa bahwa setiap hektar hutannya menyimpan kehidupan dan nilai lebih dari sekadar batang pohon untuk ditebang. Lupa bahwa hasil buminya bukan sekadar komoditas, tapi identitas.

Pemerintah dan masyarakat tentu punya tanggung jawab besar untuk mengubah nasib ini. Perlu kebijakan yang melindungi sambil memberdayakan. Perlu pasar yang adil dan regenerasi petani muda yang mau tinggal di desa. Tapi yang lebih dulu dibutuhkan adalah kesadaran: bahwa Sumatera bukan cadangan. Ia adalah inti.

Selama kopi Gayo masih diseruput di pagi hari, selama giok Nagan masih disepuh menjadi cincin warisan, dan selama bunga Rafflesia masih berani mekar di tengah hutan, Sumatera masih bersuara walau pelan. Mungkin sekarang saatnya kita benar-benar mendengar.(SM)