MUSI RAWAS – Alih-alih menjadi tempat pelayanan publik untuk kebutuhan energi masyarakat, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) 24.316.154 yang berlokasi di Simpang Semambang, Kecamatan Tuah Negeri, Kabupaten Musi Rawas (Mura), justru menuai sorotan tajam.
Pasalnya, SPBU tersebut diduga lebih mengutamakan pelayanan bagi para penimbun BBM dengan tangki modifikasi ketimbang pengendara umum.
Praktik ini menimbulkan keresahan warga. Bukan hanya soal keterlambatan warga mendapatkan bahan bakar, tetapi juga berulang kali memicu adu mulut antara konsumen umum dengan petugas SPBU.
Sandi (45), warga Muara Kelingi, mengaku kecewa berat dengan pelayanan di SPBU itu. Dia mengaku sedang terburu-buru menuju rumah sakit justru dihadapkan pada aturan aneh dari petugas.
“Saya sudah masuk antrian, tapi malah disuruh menunggu karena ada mobil tangki modifikasi yang harus didahulukan. Padahal, saya jelas pengguna umum. Bagaimana ini bisa dibenarkan?” ujar Sandi dengan nada kesal, Jumat (15/08)
Sandi menyebut sikap petugas SPBU terkesan arogan. bahkan menilai ada praktik premanisme yang dilegalkan. “Miris, sudah kasat mata ada penimbunan BBM, tapi aparat penegak hukum (APH) yang sering lewat lokasi seolah menutup mata,” tambahnya.
warga lainnya, mengaku sempat terlibat cekcok dengan petugas lantaran dirinya dipaksa menunggu antrian panjang. “Saya heran, kenapa Polres Mura diam saja? Penimbunan BBM ini dilakukan terang-terangan. Kalau dibiarkan, bisa-bisa terjadi keributan lebih besar,” ujarnya.
Fenomena ini semakin menimbulkan pertanyaan publik. Masyarakat menduga ada pembiaran dari aparat setempat yang seharusnya bertugas menjaga ketertiban serta mengawasi distribusi BBM bersubsidi.
“Kalau seperti ini, jelas kami dirugikan. SPBU ini seakan hanya jadi ladang keuntungan oknum tertentu. Seharusnya ada keberpihakan kepada rakyat, bukan sebaliknya,” tegas Sandi.
Masyarakat mendesak PT Pertamina Patra Niaga, Polda Sumsel, dan Pemkab Musi Rawas segera mengambil langkah tegas. Mereka menilai keberadaan SPBU 24.316.154 telah menyimpang dari fungsinya sebagai objek vital yang seharusnya melayani kebutuhan energi rakyat secara adil.
“Presiden Prabowo Subianto sudah menegaskan, jangan ada kesewenang-wenangan dalam pelayanan publik. Tapi kenyataan di lapangan justru sebaliknya. Ini jelas mencoreng amanah negara,” pungkasnya.
Simpang Semambang, Musi Rawas, bukan satu-satunya panggung kericuhan soal BBM. Kasus antrean timpang di SPBU 24.316.154 ternyata hanya serpihan dari fenomena lebih luas yang membelit wilayah Musi Rawas, Kota Lubuklinggau, hingga Musi Rawas Utara (Muratara).
Polanya sama. Mobil tangki modifikasi, jerigen berderet, dan petugas SPBU yang “mengistimewakan” penimbun. Akibatnya, pengendara umum selalu jadi pihak yang dikorbankan.
Di Lubuklinggau, misalnya, seorang sopir travel mengeluh kerap terhambat karena antrean kendaraan terlalu panjang. “Kalau malam, SPBU itu penuh mobil truck. Kadang sampai bikin macet jalan. Kita mau berangkat antar penumpang, jadi tertahan,” ujarnya.
Sementara di Muratara, kondisi lebih pelik. Warga menuturkan, BBM bersubsidi cepat sekali habis. Ketika ditelusuri, ternyata sebagian besar sudah lebih dulu “diangkut” oleh para penimbun yang telah mengantri dari malam. Di pasar gelap, BBM yang mestinya untuk rakyat kecil justru dijual dengan harga melambung. “Mau beli eceran, harganya lebih tinggi dari harga resmi, SPBU selalu tutup minyak habis. Malah penjual minyak eceran yang buka 24 jam di depan SPBU,” kata Mursid, warga Rupit.
Fenomena ini meninggalkan pertanyaan besar: apakah aparat penegak hukum tidak tahu, atau sengaja menutup mata? Fakta di lapangan menunjukkan banyak APH kerap melintas di SPBU, namun tak ada tindakan berarti.
Warga bahkan mulai berprasangka, praktik penimbunan yang merajalela ini bukan lagi sekadar kelalaian, melainkan jaringan bisnis gelap yang melibatkan banyak pihak.
Desakan masyarakat makin keras. Mereka menuntut Pertamina Patra Niaga, Polda Sumsel, hingga pemerintah daerah turun tangan membersihkan “kartel BBM” yang tumbuh subur di tiga wilayah tersebut.
Apalagi, Presiden Prabowo Subianto sudah menegaskan agar objek vital seperti BBM tidak boleh dikuasai kelompok tertentu. Namun hingga kini, suara rakyat seperti terhenti di udara panas antrian SPBU.
Sementara di jalanan Musi Rawas, Lubuklinggau, dan Muratara, klakson panjang kendaraan yang tersendat antrean BBM masih terus terdengar sebagai tanda bahwa energi rakyat masih juga ditukar dengan permainan kotor segelintir orang.(SM)