Menelusuri Jejak “Negeri Candi” di Sumatera: Warisan Peradaban yang Terlupakan
SUMATERA — Di balik rimbunnya hutan, bisunya batu, dan sunyinya tepian sungai, tersimpan rahasia besar peradaban kuno di Pulau Sumatera. Tidak banyak yang tahu, pulau yang lebih dikenal karena kekayaan alam dan sejarah kolonialnya ini menyimpan jejak kerajaan besar melalui candi-candi kuno yang tersebar dari Aceh hingga Lampung. Sumatera diam-diam adalah “negeri candi” yang tak kalah megah dari Jawa.
Aceh: Gerbang Barat Peradaban Hindu-Buddha
Di ujung barat Indonesia, di Aceh Besar, berdiri sunyi Candi Gle Jeruk. Meski hanya tersisa reruntuhan batu bata, keberadaannya menjadi bukti nyata bahwa Hindu telah menyentuh tanah Aceh sejak abad ke-8. Tak jauh dari sana, Candi Cot Meurak di Pidie, menyimpan kisah misterius tentang kehadiran komunitas pemuja Siwa di tanah yang kini dikenal sebagai Serambi Mekkah.
Sumatera Utara: Tanah Suci Padang Lawas
Menuruni lembah menuju Padang Lawas, panorama berubah drastis. Hamparan rumput luas yang nyaris tak tersentuh modernitas menyimpan mahakarya spiritual: Candi Bahal I, II, dan III, serta Candi Sipamutung. Kompleks ini bukan sekadar tempat ibadah, melainkan pusat ajaran Buddha aliran Vajrayana. Didirikan sekitar abad ke-11 hingga 13, candi ini menandakan pengaruh kuat jaringan spiritual dari Asia Selatan hingga ke jantung Sumatera.
Bayangkan, di tengah savana tropis, para biksu menyalakan dupa, berdiskusi tentang filsafat, dan menuliskan naskah suci dengan tinta dan daun lontar. Sebuah bab sejarah yang nyaris hilang dari buku pelajaran.
Riau: Mahligai Spiritual di Tepi Sungai Kampar
Menyusuri sungai Kampar di Riau, pengunjung akan menemukan Candi Muara Takus, satu-satunya kompleks Buddha di wilayah ini. Candi Mahligai berdiri menjulang seperti menara doa, diapit oleh Candi Tua dan Candi Bungsu. Struktur yang dominan dari batu bata merah ini menjadi bukti kuat bahwa Sriwijaya tidak hanya bercokol di Palembang, tapi juga menjelajah hingga ke utara Sumatera.
Muara Takus bukan hanya tempat ibadah. Di sinilah, dipercaya, para biksu dan pemimpin spiritual mendalami kitab suci dan menjalankan ritus penting kerajaan.
Jambi: Jantung Sriwijaya yang Tertimbun Waktu
Jika ada candi yang bisa disebut sebagai Vatican-nya Sriwijaya, maka itulah Kompleks Candi Muaro Jambi. Di atas lahan seluas ribuan hektare di sepanjang Sungai Batanghari, tersebar puluhan bangunan candi, seperti Candi Gumpung, Tinggi, Kedaton, Kembar Batu, dan Gedong. Sebagian telah dipugar, sebagian besar masih tidur di bawah tanah dan semak.
Muaro Jambi diyakini bukan hanya situs keagamaan, tapi juga universitas kuno, tempat biksu dari India, Tiongkok, hingga Tibet menimba ilmu. Bahkan, catatan peziarah Tiongkok, I-Tsing, menyebut kawasan ini sebagai pusat studi agama dan bahasa Sanskerta yang dihormati di Asia.
Sumatera Selatan: Bumi Ayu, Si Lain dari yang Lain
Di Kabupaten PALI, Candi Bumi Ayu berdiri sebagai satu-satunya kompleks Hindu terbesar di luar Pulau Jawa. Gaya arsitekturnya mencolok—mengingatkan pada candi-candi di India Selatan. Dibangun oleh komunitas Siwaistis antara abad ke-8 hingga ke-13, candi ini memperlihatkan bahwa Sumatera Selatan pernah menjadi pusat penting pemujaan Dewa Siwa, lengkap dengan arca dan yoni-lingga yang masih dapat ditemukan.
Bengkulu dan Lampung: Warisan yang Menunggu Dibangkitkan
Tak banyak yang tahu bahwa Bengkulu juga memiliki situs purbakala seperti Air Padang dan Muara Aman. Meski belum sepopuler situs lainnya, penemuan fragmen arca dan batu berornamen memberi isyarat adanya aktivitas keagamaan Hindu-Buddha di masa lampau.
Sementara itu di Lampung, Situs Pugung Raharjo menjadi bukti akulturasi budaya megalitik dan klasik. Situs ini bukan hanya berisi struktur batu, tapi juga punden berundak, kolam suci, hingga arca dari masa Hindu-Buddha. Di Situs Batu Bedil, ditemukan batu panjang seperti meriam yang dipercaya memiliki makna spiritual dalam tradisi lokal.
Semua candi itu berdiri diam, tetapi bersuara. Mereka menyampaikan pesan: bahwa Sumatera bukan sekadar pulau penghasil kopi, sawit, dan batubara, tapi juga tanah peradaban besar yang kini butuh perhatian. Sayangnya, banyak dari situs ini yang masih terabaikan, belum mendapat perlindungan maksimal, bahkan belum diteliti secara menyeluruh.
Kini, dengan berkembangnya minat wisata sejarah dan budaya, serta semangat generasi muda yang mulai sadar akan akar sejarahnya, harapan baru pun muncul. Candi-candi ini, jika dijaga dan dikenalkan dengan baik, bisa menjadi ikon kebangkitan budaya Sumatera — menyatukan masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu napas sejarah.(SM)