SUMSEL— Perjuangan tiga buruh yang diberhentikan secara sepihak oleh sebuah perusahaan fasilitas bidang olah raga golf di Palembang memasuki babak baru.
Zumhari dan Syahrul, dan Khairul, melalui kuasa hukum mereka Sudirman Hamidi, Selasa pagi (5/8), sekitar pukul 10.00 WIB. Resmi melaporkan dugaan tindak pidana oleh pihak manajemen perusahaan itu ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumatera Selatan.
Dalam keterangannya, Sudirman menjelaskan bahwa kliennya telah di-PHK secara sepihak oleh perusahaan tempat mereka bekerja tanpa dipenuhi hak-haknya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan sejak 2021 lalu.
“Kami sudah menempuh semua jalur mulai dari somasi, mediasi di Disnaker, hingga gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Putusan PHI sudah berkekuatan hukum tetap, tapi tidak dilaksanakan,” jelas Sudirman.
“Pihak perusahaan malah melakukan kasasi. Putusan kasasi juga tidak mengubah pokok perkara, perusahaan tetap harus membayar. Tapi sampai sekarang tidak ada itikad baik.” Lanjut Sudirman.
Tak berhenti di pengadilan, tim kuasa hukum juga mencoba mengeksekusi putusan lewat Pengadilan Negeri Palembang. Namun hingga empat kali proses eksekusi, perusahaan tetap mangkir.
“Ada saran dari pengadilan agar memblokir rekening perusahaan. Tapi setelah diblokir, saldo tetap tidak mencukupi untuk memenuhi hak hak klien kami. Ini jelas ada upaya menghindari tanggung jawab hukum,” kata Sudirman.
Menurutnya, langkah hukum terakhir yang kini ditempuh adalah laporan pidana ke Unit IV Tipiter Krimsus Polda Sumsel. Mereka menuntut adanya kepastian hukum dan perhatian dari aparat penegak hukum terhadap hak-hak buruh yang telah lama diabaikan.
Sudirman juga menyinggung inisiatif Kapolri yang beberapa waktu lalu mencanangkan unit khusus penanganan perkara ketenagakerjaan di tubuh Polri.
“Unit ini semestinya bisa menjadi harapan terakhir kami dan harapan bagi seluruh buruh di Indonesia. Unit ini dibentuk khusus untuk menangani kasus seperti ini?” tegasnya.
Dia menambahkan, bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung hukum, sehingga jika keputusan pengadilan saja diabaikan, maka akan muncul preseden buruk bagi para pencari keadilan.
“Siapa lagi yang akan menghargai hukum kalau bukan kita? Kalau pengusaha bisa seenaknya mengabaikan putusan pengadilan, ke mana lagi buruh harus mencari keadilan?” ujarnya.
Total hak yang dituntut oleh tiga buruh tersebut adalah sebesar Rp131 juta. Jumlah ini mencakup pesangon, upah proses, dan hak-hak lainnya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Mereka dipecat sepihak dengan alasan-alasan yang tidak berdasar. Padahal, setiap PHK harus mengikuti prosedur dan memberikan kompensasi sebagaimana telah diatur. Itu bukan permintaan, itu kewajiban hukum,” pungkas Sudirman.
Hingga berita ini diturunkan, pihak perusahaan yang dimaksud belum memberikan pernyataan resmi. Namun, pihak pelapor berharap Polda Sumsel segera menindaklanjuti laporan pidana ini demi memberi keadilan kepada para buruh yang telah bertahun-tahun memperjuangkan haknya.
Gerakan buruh untuk menuntut hak pesangon kini memasuki babak baru. Tak hanya mengandalkan jalur perdata dan pengadilan hubungan industrial (PHI), sejumlah serikat pekerja kini juga menempuh langkah pidana terhadap pengusaha yang mangkir dari kewajibannya.
Hal ini mengemuka dalam diskusi online yang diselenggarakan oleh Global Union Solidarity melalui Zoom pada 29 Desember 2022, yang membahas strategi pemidanaan terhadap pengusaha yang mengabaikan pembayaran pesangon, dengan studi kasus pelaporan pidana oleh delapan pekerja PT Sarana Pariwara ke Polda Jawa Tengah.
Laporan tersebut tercatat dalam LP/B/704/XII/2022/SPKT/POLDA JAWA TENGAH, yang dilayangkan lantaran pengusaha tidak menjalankan putusan PHI Semarang yang telah berkekuatan hukum tetap terkait pembayaran pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan hak lainnya.
Menurut Nasrul Dongoran, kuasa hukum para pekerja dari NET Attorney Law Firm, pihaknya telah melalui berbagai tahap penyelesaian sengketa, termasuk perundingan bipartit dan tripartit, hingga somasi sebanyak tiga kali. “Namun semua langkah persuasif diabaikan. Maka, pidana adalah jalan terakhir,” tegasnya.
Sementara itu, Nelson Saragih dari Federasi Serikat Pekerja Pulp dan Kertas Indonesia (FSP2KI) menjelaskan bahwa sebenarnya putusan PHI seharusnya dijalankan secara sukarela oleh pengusaha. Namun karena sering diabaikan, maka langkah ultimum remedium alias pidana jadi penting sebagai tekanan moral dan hukum.
Nelson memaparkan, jika pengusaha tetap tidak patuh meski telah ada putusan PHI, maka pekerja bisa menempuh permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan Negeri, bahkan permohonan sita eksekutorial terhadap aset pengusaha untuk dilelang.
Namun ia juga mengakui proses ini tidak mudah. “Seringkali muncul benturan saat pelaksanaan eksekusi di lapangan,” jelasnya.
Fribertson Samosir, pengacara publik LBH Palembang, mengungkapkan bahwa pihaknya tengah menangani kasus serupa di Sumatera Selatan, tepatnya pada perusahaan PT Sarana Riau Makmur, Muara Enim. Ia menyatakan bahwa awal Januari 2023, mereka akan melayangkan ajakan berunding kepada pengusaha untuk pembayaran pesangon.
Fribertson menegaskan bahwa semua langkah yang telah ditempuh menjadi dasar kuat untuk mengambil langkah pidana. “Jika pengusaha tetap mengabaikan hak buruh, maka pemidanaan bukan sekadar opsi, tetapi kewajiban,” ujarnya.
Langkah pidana ini didasarkan pada Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menyebut bahwa pengusaha yang tidak membayar pesangon sesuai aturan dapat dikenai sanksi pidana 1 hingga 4 tahun atau denda Rp100 juta hingga Rp400 juta.
Adapun dalam kasus delapan buruh PT Sarana Pariwara, saat ini penyidik Polda Jateng telah memanggil saksi-saksi dari pihak pelapor. Proses hukum terus berjalan dan menjadi preseden penting bagi buruh di daerah lain, termasuk di Sumsel.
Selain pemidanaan, Nelson juga menyebutkan alternatif lain berupa permohonan kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Menurutnya, jika pesangon yang belum dibayar telah ditetapkan dalam jumlah tertentu berdasarkan putusan pengadilan, maka itu bisa dianggap sebagai utang. Dengan PKPU, pengusaha wajib mengajukan rencana pembayaran terhadap seluruh kreditur, termasuk buruh.
Diskusi ini menjadi penting karena menghadirkan strategi konkret untuk buruh dalam memperjuangkan haknya. Dengan pendekatan hukum yang lebih tegas dan sistematis, buruh diharapkan tidak lagi menjadi pihak yang selalu dirugikan saat terjadi pemutusan hubungan kerja.(SM)