Riau – Menjelang perayaan hari raya Idul Adha 2025, semestinya kampung-kampung di pelosok Riau diselimuti riuh persiapan jual beli kambing dan sapi qurban. Tapi di Desa Griya Mukti Jaya GHS 1, Kecamatan Teluk Belengkong, Riau, suasana itu berubah muram. Warga tidak sibuk memilih hewan qurban, melainkan sibuk berjaga dari harimau yang berkeliaran disekitar permukiman.
Delapan ekor kambing peliharaan warga, yang sejak lama dipersiapkan sebagai hewan qurban, raib dalam dua malam. Lima di antaranya ditemukan tergeletak dengan luka robek di leher dan tubuh yang tercabik, sementara tiga lainnya menghilang tanpa jejak di sekitar Kanal 8.5 SP3.
Di tanah berlumpur di tepi kebun, jejak cakar besar tertinggal. Semua tanda itu mengarah pada satu pelaku Panthera tigris sumatrae, sang Harimau Sumatera.
Kepala Desa Griya Mukti Jaya, Indra Setiawan, masih terdengar muram saat menceritakan kejadian itu. “Jejak kakinya jelas. Besar dan dalam. Mengarah dari kanal ke peternakan warga. Ini bukan pertama kalinya, tapi kali ini dekat sekali dengan pemukiman,” ujarnya.
Warga desa, sebagian besar peternak dan petani, kini hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Anak-anak diminta tidak keluar rumah setelah sore. Aktivitas di kebun dihentikan lebih awal. Sebagian warga bahkan menginap di rumah kerabat di pusat kecamatan.
“Biasanya kami salat magrib di musala, sekarang musala pun sepi. Orang takut keluar rumah,” kata Wandi, seorang warga yang kehilangan dua kambingnya.
Desa Griya Mukti Jaya berbatasan langsung dengan Pelangiran, bagian dari lanskap hutan rawa gambut Kerumutan salah satu benteng terakhir harimau Sumatera. Tapi benteng itu kini keropos. Pembukaan lahan, pembalakan liar, dan kebun sawit yang menyusup hingga ke pinggiran hutan membuat ruang gerak satwa liar semakin sempit. Harimau, sang penguasa rimba, tak lagi punya pilihan selain menjelajah dan berkonfrontasi dengan manusia.
“Habitatnya terganggu. Mangsa alaminya berkurang. Maka ternak warga jadi sasaran,” jelas Indra. Dia juga menyebutkan bahwa belum ada kepastian kapan pihak konservasi akan turun tangan, meskipun laporan sudah dikirimkan.
Ironis, kambing yang disiapkan sebagai simbol pengorbanan kini menjadi korban dalam arti harfiah. Peristiwa ini bukan hanya soal kerugian ekonomi, tapi soal nyawa dan rasa aman. Beberapa warga bahkan mempertimbangkan untuk tidak melaksanakan penyembelihan qurban tahun ini, karena khawatir dengan situasi yang belum terkendali.
Pemerintah desa kini tengah mengupayakan antisipasi darurat. Pos jaga malam dibentuk, lampu penerangan ditambah, dan warga diarahkan untuk melaporkan semua tanda keberadaan satwa liar. Tapi semua itu hanya solusi jangka pendek. Tanpa intervensi serius dari otoritas konservasi, ancaman harimau akan terus membayangi.
Konflik ini bukan hanya tentang satu desa dan satu harimau. Ini cermin dari krisis ekologis yang lebih besar: ketika ruang untuk satwa liar menyempit, maka benturan dengan manusia menjadi keniscayaan.
Di Griya Mukti Jaya, hari raya Idul Adha tinggal hitungan hari. Tapi yang lebih dulu datang bukan takbir, melainkan suara langkah senyap menyelinap di malam hari, dari kaki besar dan tak terlihat, jejak itu milik sang harimau yang mulai kehilangan hutannya.(SM)