Palembang — Suasana hangat menyelimuti Sentra Budi Perkasa milik Kementerian Sosial RI di Palembang, Selasa (20/5) sekitar pukul 10.00 WIB, saat 40 orang mantan narapidana terorisme (napiter) ISIS dari berbagai daerah di Sumatera berkumpul untuk memulai babak baru dalam hidup mereka menjadi teknisi pendingin ruangan (AC).
Pelatihan yang digelar oleh Densus 88 Anti Teror Mabes Polri bekerja sama dengan Yayasan Astra ini menjadi bagian dari upaya reintegrasi sosial. Para peserta berasal dari Provinsi Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Riau, dan Jambi wilayah yang selama ini tidak luput dari ancaman paham radikalisme.
Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88, Brigjen Pol Arif Makhfudiharto, mengatakan bahwa pelatihan ini merupakan bentuk pendekatan baru dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Menurutnya, tugas negara bukan hanya menghukum, tetapi juga membuka jalan untuk kembali membangun kehidupan yang bermanfaat.
“Hal ini bagian dari penanggulangan terorisme, bukan hanya menghukum mereka, tetapi bersama-sama kembali membangun negara dan memberikan kemanfaatan bagi diri sendiri ataupun keluarga mereka,” kata Arif.
Kenapa teknisi AC? Menurut Arif, pilihan ini bukan tanpa alasan. Ia menyebutkan bahwa jasa perbaikan AC adalah salah satu kebutuhan rumah tangga yang sangat umum dan mendesak, sehingga bisa menjadi celah usaha yang menjanjikan.
“Pelatihan teknisi AC ini merupakan kewirausahaan yang paling sederhana dan dibutuhkan oleh masyarakat,” ujarnya.
Tak hanya dibekali keterampilan teknis, para peserta juga akan mendapatkan pendampingan pasca pelatihan untuk memastikan mereka siap menghadapi pasar. Densus 88 menekankan bahwa keberhasilan reintegrasi tidak hanya soal keterampilan, tetapi juga soal penerimaan dan adaptasi sosial.
“Ketika para pelanggan menggunakan jasa mereka dan merasa nyaman, itulah tanda keberhasilan proses ini,” tambah Arif.
Dari sisi mitra pelaksana, Selly Irfandi, Corporate Security Division Head Astra, menjelaskan bahwa kerja sama pelatihan ini telah berlangsung lima kali. Astra tidak hanya berhenti pada pelatihan, tetapi juga memberikan dukungan berupa alat kerja, pembentukan kelompok usaha, hingga pelatihan pengelolaan keuangan.
“Tinggal bagaimana para peserta berusaha untuk mencari pelanggan. Kami sudah fasilitasi kemampuan, alat, dan pemahaman. Ini bisa mempercepat proses mereka untuk kembali beradaptasi dengan masyarakat,” ujar Selly optimistis.
Pelatihan ini menjadi gambaran nyata bahwa penanggulangan terorisme tak hanya dilakukan lewat pendekatan keras, tetapi juga lewat pemberdayaan dan pemulihan peran sosial. Di tengah upaya deradikalisasi nasional, kegiatan ini menjadi contoh bahwa kesempatan kedua bukan sekadar wacana, tapi bisa diwujudkan — dengan kolaborasi dan kesungguhan.
Abdul Rahman salah seorang Eks Napiter ISIS asal Palembang mengaku, selama ini dia berkelana ke daerah arab, Yaman dan Suriah untuk berjihad menegakan negara islamiah. Namun sepak terjang mereka terungkap setelah densus 88 meringkus mereka
Abdul Gozi, salah satu peserta pelatihan teknisi AC, menceritakan bagaimana kehidupannya berubah sejak bebas dari masa hukuman sebagai mantan napiter. Ia mengaku pernah terkait jaringan ISIS dan ditangkap di Turki, sebelum akhirnya melalui proses panjang hingga bisa kembali ke Indonesia.
“Dulu kami terkait ISIS, ditangkap di Turki. Panjang prosesnya sampai bisa tergabung di sana. Setelah bebas, saya kerja serabutan saja. Sekarang saya sangat bersyukur, karena difasilitasi dan diarahkan oleh dinas tertentu. Saya sudah belajar menjadi warga negara yang baik,” ungkapnya.
Sementara itu, Abdurrahman Taib, mantan napiter asal Palembang, juga menyambut positif pelatihan yang diinisiasi oleh Densus 88 Antiteror Polri tersebut. Menurutnya, keterampilan yang diperoleh sangat bermanfaat dalam upaya membangun kembali ekonomi keluarga.
“Saya sedang berusaha membangun ekonomi keluarga. Pelatihan ini sangat membantu, karena saya jadi punya keterampilan tambahan yang bisa langsung diterapkan untuk mencari penghasilan,” ujarnya.
Keduanya berharap, langkah ini menjadi awal baru dalam perjalanan mereka untuk kembali aktif dan berkontribusi positif di masyarakat.
Diketahui, Kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dikenal memiliki kemampuan merakit bom yang cukup kompleks dan mematikan. Kemampuan ini diperoleh dari pengalaman medan perang, pelatihan militer internal, dan transfer pengetahuan dari jaringan jihad global. Beberapa kemampuan mereka meliputi
Improvised Explosive Devices (IEDs),
ISIS sering menggunakan bom rakitan (IED) untuk menyerang pasukan militer, konvoi, atau target sipil. Mereka menggunakan bahan-bahan komersial yang mudah diperoleh dan menyulapnya menjadi alat peledak mematikan.
ISIS juga terkenal dengan penggunaan VBIED (Vehicle-Borne Improvised Explosive Device), yaitu kendaraan yang diisi bahan peledak dan dikendarai oleh pelaku bom bunuh diri ke sasaran.
Mereka memanfaatkan teknologi seperti drone untuk menjatuhkan bahan peledak kecil dari udara di medan tempur. ISIS selalu menyebarkan panduan membuat bom terhadap seluruh jaringannya agar bisa membuat dari bahan-bahan rumah tangga melalui media propaganda mereka, yang ditujukan kepada simpatisan di luar wilayah konflik.
Di wilayah yang pernah mereka kuasai seperti di Mosul atau Raqqa, ditemukan laboratorium tempat ISIS mengembangkan bom dengan sistem pemicu rumit, termasuk pemicu tekanan, sensor gerak, dan sistem kendali jarak jauh.
Kemampuan merakit bom ini menjadikan ISIS sebagai salah satu kelompok teroris yang paling berbahaya secara global, hingga saat ini.(SM)