MURATARA – Sungai yang dulu jernih di Kecamatan Ulu Rawas, Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Sumatera Selatan. kini kamis (15/5/2025) mulai berubah menjadi arus keruh yang membawa amarah dan pencemaran.
Air yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat, kini tak lagi layak dikonsumsi. Ikan-ikan menghilang, banjir bandang datang silih berganti, dan hutan lindung kini tak lebih dari ladang galian yang dikeruk alat berat siang dan malam.
Dampak aktivitas ilegal yang berada di wilayah Ulu Rawas, kini mulai meresahkan warga. Setidaknya ada empat wilayah kecamatan yang terdampak, mulai dari Rawas Ulu, Rupit, Karang Dapo, hingga ke wilayah Kecamatan Rawas Ilir.
Di balik semua ini, mencuat sejumlah tudingan biang kerok dari kerusakan tersebut, mulai dari oknum dari institusi kehutanan, kepala Desa, Camat, oknum DPRD, hingga oknum dari institusi kepolisian yang disebut-sebut membekingi kegiatan tambang emas ilegal tersebut.
Tambang emas ilegal atau illegal mining (PETI) tengah merajalela di kawasan Ulu Rawas. Aktivitas ini tidak hanya melibatkan warga lokal yang putus asa mencari penghidupan, tapi juga diduga dilindungi oleh oknum-oknum kuat yang bermain demi keuntungan pribadi.
Dari hasil investigasi lapangan dan laporan masyarakat, diketahui bahwa aktivitas tambang ilegal dengan alat berat terjadi secara masif dari Desa Jangkat, Napalicin hingga ke arah Kuto Tanjung. Puluhan alat berat sekitar 35 unit dilaporkan beroperasi secara ilegal mengeruk galian tanah untuk mendapatkan butiran emas di wilayah yang sejatinya adalah hutan lindung dan termasuk dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
“Saya sebagai putra asli Ulu Rawas sangat tidak setuju dengan aktivitas yang sangat merusak ini. Ini bukan hanya soal tambang, tapi soal masa depan anak cucu kita,” kata Mohamad Ali, Direktur Utama Law Firm Garda Keadilan, dalam pernyataan resminya.
Menurutnya, kerusakan ekosistem sudah berada pada titik kritis.
Sungai-sungai tercemar berat, tidak lagi bisa digunakan oleh warga yang tak memiliki sumur atau akses PAM. Banjir bandang kini menjadi bencana tahunan, terjadi dua kali dalam setahun terakhir. “Dulu tidak pernah banjir seperti sekarang, karena marak ilegal mining di wilayah Ulu Rawas dan Rawas Ulu dalam satu tahun bisa tiga kali banjir bandang,” jelasnya.
Pertanyaan besar menggantung di langit keruhnya sungai di Ulu Rawas Di mana aparat penegak hukum (APH)? Laporan demi laporan telah dikirimkan ke Polres Muratara, bahkan diduga informasi sudah sampai ke Polda Sumsel. Namun, hingga kini, tidak ada tindakan konkret terhadap pelaku tambang ilegal maupun oknum yang terlibat di balik layar.
“Kami menduga kuat ada oknum yang membekingi dan bahkan memberi modal untuk usaha yang jelas-jelas melanggar hukum negara,” ujar Ali lagi. Dia menyebutkan, kejahatan ini bukan sekadar soal tambang, melainkan jaringan korupsi dan pembiaran sistemik yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Sungai Ulu Rawas hari ini berbicara dalam diam. mengalir dalam warna yang pekat dan menyakitkan. menjadi saksi bahwa kerakusan manusia telah mengabaikan kehidupan sekitarnya. Hutan yang dulu menjadi penyangga banjir kini terkelupas. Rantai makanan tercerai-berai. Apa yang dulu menjadi sumber kesejahteraan, kini berubah menjadi sumber petaka.
Warga Ulu Rawas sudah tidak ingin lagi hanya diam. Mereka mendesak Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, Kapolri, Gubernur Sumsel, hingga Bupati Muratara untuk turun tangan secara langsung. Mereka meminta agar oknum-oknum yang bermain diusut dan dihukum seberat-beratnya.
Meski kerusakan semakin hari semakin menjadi, harapan belum sepenuhnya padam. Masyarakat masih percaya pada keadilan. Masih ada ruang untuk memperbaiki, tapi hanya jika negara benar-benar hadir. Illegal mining bukan hanya soal emas, tapi soal nyawa, masa depan, dan keberlanjutan hidup.
Demam Emas, Sungai Menangis
Di balik kilauan logam mulia yang memikat ribuan mata, ada sungai-sungai yang perlahan sekarat. Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Sumatera Selatan, kini dilanda demam emas. Namun, bukan kesejahteraan yang tumbuh melainkan krisis lingkungan yang semakin dalam.
Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) merajalela. Dari sistem dulang tradisional hingga tambang gali dan mesin dompeng bertenaga besar, hingga penggunaan alat berat seperti excavator semuanya menari dalam satu irama: mengejar gram demi gram emas, apa pun risikonya.
Hampir semua metode penambangan di Muratara, baik skala kecil hingga besar besaran menggunakan merkuri (air raksa) untuk mengikat butiran emas. Zat kimia beracun ini tak hanya mencemari air dan tanah, tetapi juga membahayakan kesehatan dalam jangka panjang. Namun, masyarakat tetap menggunakannya. Alasannya sederhana demi bertahan hidup.
Di balik aktivitas ini ada empat metode utama
Tambang Dompeng Mesin penyedot sungai dengan pipa raksasa, mampu menyedot hingga dasar sungai. Satu alat lengkap bisa menelan modal Rp47 juta, namun hasilnya menjanjikan 9–17 gram per hari.
Tambang Gali (Ngelobang) Sistem gali lubang dengan alat berat seperti jack hammer dan blower, dilakukan hingga kedalaman 50 meter. Pengolahan dilakukan di rumah menggunakan gelundung yang dicampur merkuri.
Ngedulang Cara paling tradisional, menggunakan dulang untuk menyaring emas di pinggir sungai. Masyarakat banyak merantau ke kawasan TNKS di Singkut, Jambi, karena kadar emas di sana bisa mencapai 90 persen.
Menggunakan alat berat seperti excavator, untuk mengeruk tanah disepanjang bantaran sungai yang diduga banyak menyimpan kandungan emas. Dengan menggunakan alat berat, dalam satu hari bisa mendapatkan 20-50 gram butiran emas.
Namun ironis, demi emas, mereka masuk ke kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), kawasan hutan lindung yang semestinya steril dari eksploitasi.
Sungai Mati, Ikan Hilang, Banjir Datang
Dampak nyata dirasakan warga. mengaku sejak era 2020-an, ikan semah sudah sulit ditemukan. “Dulu sungai jernih, ikan banyak. Sekarang keruh dan berbau lumpur. Ikan Semah sudah punah,” kata Kasim, warga Rawas Ulu. Sembari menambahkan, ” jumlah alat berat yang melakukan aktivitas ilegal bukan berjumlah belasan lagi. Sekarang sudah 35 alat berat yang masuk ke Ulu Rawas,” ujarnya singkat.
Ikan semah sendiri bernilai tinggi, Rp100–150 ribu per kilogram. Kini, hilangnya ikan berarti hilangnya sumber ekonomi alternatif.
Tak hanya itu, aktivitas tambang yang merusak struktur sungai dan hutan diduga jadi biang banjir bandang yang kini rutin menerjang Ulu Rawas dan Rawas Ilir dua kali dalam setahun.
APH dan Kementerian Lingkungan: “Tak bersuara, mungkin karena ikut berselera.”
Meski maklumat Kapolda Sumsel Nomor Mak/11/XI/2020 dengan tegas melarang PETI dan perusakan lingkungan, penindakan hampir nihil. Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Sumatera Selatan, tengah dilanda fenomena “demam emas” yang semakin meresahkan. Harga emas 24 karat yang mencapai Rp1.866.000 per gram pada Kamis, 15 Mei 2025, menjadi pemicu maraknya aktivitas penambangan emas ilegal di wilayah ini.
Aktivitas penambangan ilegal ini tidak hanya merusak ekosistem sungai, tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat. Penggunaan merkuri dalam proses pemisahan emas telah mencemari aliran sungai, menyebabkan air menjadi keruh dan beracun. Biota sungai, seperti ikan semah yang dulunya melimpah, kini sulit ditemukan. (SM).