Saturday, 17 May 2025

65 Narapidana Dipindahkan ke Nusakambangan: Ketika Kerusuhan Jadi Titik Didih Lapas Muara Beliti

 

MUSI RAWAS – Suasana Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Kelas IIA Muara Beliti, Sumatera Selatan, sempat mencekam. Kamis pagi, 8 Mei 2025, jeruji besi yang seharusnya menjadi pagar keteraturan justru berubah menjadi panggung kerusuhan. Teriakan memecah udara, lemparan batu berhamburan, dan fasilitas hancur sebuah pemberontakan yang menguak borok lama penyelundupan ponsel, pengendalian narkoba dari balik sel, hingga penipuan daring.

Aksi tersebut bukan hanya mencoreng sistem pemasyarakatan, tapi juga mengguncang pondasi pengawasan di dalam lapas. Maka, pada Sabtu pagi (10/5) sekitar pukul 11.00 WIB, 65 narapidana yang dianggap sebagai dalang kekacauan itu dipindahkan ke Lapas Nusakambangan, penjara berkeamanan super maksimum di Cilacap, Jawa Tengah.

“Ini bentuk tindakan tegas. Nusakambangan bisa membina mereka dengan pendekatan yang lebih keras. Ini juga jadi peringatan keras bagi penghuni lainnya agar tidak coba-coba melakukan hal serupa,” tegas Kepala Kantor Wilayah Ditjenpas Sumatera Selatan, Erwedi Supriyatno,  di Palembang, Minggu (11/5/2025)

Kerusuhan ini dipicu oleh razia yang dilakukan pada malam sebelumnya, Rabu (7/5), di Blok Bangau. Dari 10 kamar, petugas berhasil menyita 54 unit ponsel. Bukan temuan baru ponsel dalam lapas selalu jadi sumber masalah, alat kendali kejahatan yang tak kenal batas dinding. Tapi pagi harinya, ketika razia lanjutan digelar, situasi meledak.

Sekitar pukul 09.00 WIB, sejumlah narapidana menolak razia dan berontak secara terbuka. Mereka mengambil alih pengeras suara, memprovokasi rekan-rekan lainnya, dan melempari petugas dengan batu. Beberapa ruangan dikuasai, fasilitas lapas rusak berat: alat musik, pagar pembatas, lapangan, kaca jendela—semuanya luluh lantak.

Kondisi baru bisa dikendalikan sekitar pukul 11.30 WIB oleh gabungan TNI dan Polri yang menggiring para narapidana kembali ke sel masing-masing. Beruntung, tidak ada korban jiwa atau napi kabur. Namun kerusakan fisik hanyalah sebagian kecil dari luka yang lebih dalam kegagalan pengawasan dan pembinaan.

Dari 65 narapidana yang dipindahkan, 20 orang disebut sebagai provokator utama kerusuhan. Sementara 25 lainnya adalah bandar narkoba yang masih mengendalikan jaringan dari balik jeruji, dan 20 sisanya adalah operator penipuan daring—semuanya beroperasi melalui ponsel yang diselundupkan secara diam-diam.

“Langkah ini untuk memutus mata rantai penyelundupan ponsel yang jadi biang kerok kekacauan,” ujar Erwedi.

Narapidana tersebut akan tetap berada di Nusakambangan hingga menjalani sisa hukuman yang bervariasi, dari lima hingga dua belas tahun ke depan.

Namun, langkah pemindahan ini dinilai oleh sejumlah ahli sebagai pendekatan yang reaktif, belum menyentuh akar permasalahan. Artha Febriansyah, pengajar hukum pidana dan kriminologi Universitas Sriwijaya, menilai tindakan tersebut memang mampu mengurangi peluang pelanggaran karena meningkatnya pengawasan eksternal. Namun ia menegaskan, tanpa pembinaan internal yang kuat, potensi kejahatan tetap akan muncul.

“Kalau hanya menekan dari luar tanpa memperkuat kontrol dari dalam, maka itu hanya menyelesaikan gejala, bukan penyakitnya,” jelas Artha.

Ia juga menyoroti lemahnya sistem manajemen lapas, dari praktik pungli hingga kurangnya transparansi. Menurutnya, reformasi harus mencakup penguatan kapasitas petugas, lokalisasi narapidana sesuai status hukum, serta program rehabilitasi yang nyata.

Menurut Azwar Agus, dosen Fakultas Hukum Universitas Taman Siswa Palembang, kerusuhan ini hanyalah puncak dari gunung es. Ia menyoroti kelebihan kapasitas lapas, minimnya peralatan pengawasan seperti detektor logam dan CCTV, serta rendahnya integritas petugas lapas sebagai faktor utama kekacauan.

“Kalau kapasitas tidak bisa ditambah, setidaknya lakukan pemisahan antara bandar, pengguna, dan narapidana umum. Jangan dibiarkan mereka saling memengaruhi,” tegas Azwar.

Peristiwa ini menjadi pengingat keras bahwa fungsi pemasyarakatan bukan sekadar mengurung, tapi membina dan mempersiapkan mereka kembali ke masyarakat. Tanpa sistem yang bersih, transparan, dan manusiawi, lapas hanya akan menjadi ladang subur kejahatan baru.

Pemindahan 65 narapidana ini boleh jadi solusi sesaat, tapi tanpa reformasi struktural, kerusuhan berikutnya hanyalah soal waktu.(SM)