Medan – Pagi yang biasa di Kota Medan mendadak menjadi potret kelam dari kisah yang tidak biasa. Sebuah paket yang seharusnya berisi barang kiriman, justru membawa nyawa yang sudah tak bernyawa. Isinya: jasad seorang bayi laki-laki. Kiriman terakhir dari cinta yang seharusnya tak pernah ada.
Jumat pagi, 9 Mei 2025. Kepolisian bergerak cepat setelah menerima laporan mencurigakan: seorang pengemudi ojek online mengantarkan paket berisi mayat bayi. Lokasi tujuan di wilayah Medan Belawan menjadi awal pengungkapan cerita memilukan, yang lebih dari sekadar kasus pembuangan bayi.
Tim gabungan dari Polrestabes Medan dan Polda Sumut akhirnya menggerebek sebuah kamar indekos di Jalan Selebes, Gang 7. Di sana, dua orang ditangkap: seorang perempuan muda berinisial NH (21) dan seorang pria dewasa, RD (25). Mereka bukan pasangan biasa. Mereka adalah adik dan abang kandung.
Kepala Polrestabes Medan, Kombes Gidion Arif Setyawan, dalam konferensi persnya menyatakan bahwa dari penyelidikan awal, bayi yang ditemukan adalah hasil hubungan sedarah antara NH dan RD. Hubungan terlarang yang berlangsung diam-diam di balik pintu kos-kosan sempit itu, membuahkan seorang bayi yang tidak pernah diberi kesempatan hidup layak.
Menurut keterangan Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Ferry Walintukan, NH diketahui hamil sejak Januari 2025. Kehamilan itu tidak diketahui keluarga atau lingkungan sekitar. NH melahirkan seorang diri di sebuah gubuk kumuh yang dikenal warga sebagai ‘Barak Tambunan’ di kawasan Sicanang, Belawan. Tanpa bidan. Tanpa alat medis. Hanya perempuan muda yang ketakutan, berjuang menghadapi hasil dari rahasia besar yang dikandungnya.
Bayi tersebut lahir prematur. Lemah dan kecil. Empat hari setelah kelahirannya, bayi laki-laki itu jatuh sakit dan dibawa ke RS Delima, Simpang Martubung. Dokter menyebut ia mengalami kekurangan gizi. Tapi ketakutan NH akan identitas dan data keluarga membuatnya menolak perawatan lanjutan.
Mati dalam Diam, Dikirim Seperti Barang
Malamnya, 7 Mei 2025, sekitar pukul 23.00 WIB, sang bayi meninggal dunia di ‘barak’ tempat kelahirannya. Alih-alih meminta pertolongan atau pemakaman yang layak, NH dan RD justru memutuskan menginap semalam di hotel di kawasan Medan Barat, membawa jasad sang bayi bersama mereka.
Pagi harinya, pada 8 Mei pukul 06.00 WIB, keduanya memesan layanan antar-jemput barang. Seorang pengemudi ojek online yang tak tahu menahu, menerima paket yang diminta untuk dikirimkan. Di dalamnya—bukan pakaian atau barang elektronik, tapi tubuh mungil yang telah dingin. Sebuah kehidupan yang singkat, dikemas dalam kardus dan diserahkan di tepi jalan.
Kombes Ferry menyatakan, penyelidikan masih berlangsung. Pihaknya kini menunggu hasil tes DNA untuk memastikan hubungan darah antara pelaku dan korban. NH dan RD telah diamankan, dan dijerat dengan sejumlah pasal terkait pembuangan mayat serta kemungkinan pelanggaran hukum lainnya, termasuk incest.
“Ini adalah kasus yang rumit, tragis, dan menggambarkan betapa bahayanya ketika kejahatan disembunyikan terlalu lama,” kata Ferry.
Kasus ini bukan hanya soal hukum, tapi juga tentang sisi tergelap dari kemanusiaan: ketika kasih sayang dibelokkan menjadi pelanggaran, ketika ketakutan mengalahkan tanggung jawab, dan ketika bayi yang seharusnya mendapat pelukan pertama justru mendapat kotak kardus terakhir.
Kisah ini adalah peringatan keras bahwa kita harus lebih waspada terhadap lingkungan sekitar. Tentang pentingnya edukasi, kesehatan reproduksi, serta ruang aman bagi perempuan agar tidak ada lagi ‘pengiriman terakhir’ yang berisi nyawa yang tak sempat tumbuh.(SM)