Saturday, 17 May 2025

“Harga Murah, Hati Terluka”: Jeritan Petani Singkong Lampung yang Dibalas Gas dan Batu

Bandar Lampung – Senin siang, 5 Mei 2025. Terik matahari belum turun dari puncaknya saat ratusan orang mulai memadati halaman depan Kompleks Kantor Pemerintah Provinsi Lampung. Di antara kerumunan itu, wajah-wajah yang menghitam karena terik ladang singkong kini mengeras karena rasa kecewa.

Mereka datang bukan untuk berpesta. Mereka datang membawa tuntutan yang telah lama didiamkan kenaikkan harga singkong. Di tangan mereka bukan senjata, hanya sepenggal harapan akan kehidupan yang lebih adil di kampung mereka.

Tapi di depan gerbang kantor DPRD, harapan itu bertemu dengan kawat berduri. Singkong yang Tak Lagi Menghidupi. Harga singkong yang terus anjlok menjadi bara dalam dada para petani. “Kementerian Pertanian sudah tetapkan harga Rp 1.350 per kilo dengan rafaksi maksimal 15 persen, tapi di lapangan kami cuma dapat Rp 1.100, dengan potongan sampai 40 persen,” keluh Maradoni, Ketua Paguyuban Petani Singkong Lampung Timur. “Kami dipaksa rugi. Padahal kami cuma ingin hidup layak.”

Petani dari lima kabupaten di Lampung menyatukan suara bersama mahasiswa dari kelompok Cipayung Plus dalam unjuk rasa yang diinisiasi Aliansi Masyarakat Peduli Petani Singkong Indonesia. Namun, suara yang dilantangkan lewat pengeras dan spanduk itu nyaris tak terdengar di balik pagar besi dan helm aparat.

Awalnya damai. Tapi damai itu rapuh. Ketika pintu dialog tak kunjung terbuka dan janji tinggal janji, emosi meledak. Massa mencoba menyingkirkan kawat berduri, mendobrak gerbang, berharap suara mereka bisa masuk ke telinga pejabat. Tapi yang mereka terima justru semprotan air, dorongan tameng, dan benturan tangan.

Batu melayang. Gas air mata meletup. Suara teriakan bercampur dengan sirine. Bentrok tak terhindarkan. Setidaknya 10 polisi mengalami luka akibat lemparan massa, sementara sejumlah petani dan mahasiswa juga tersungkur akibat tindakan represif aparat.

Pemerintah provinsi Lampung mengatakan telah membuka ruang dialog. Tapi bagi para petani, ruang itu terasa sempit dan tak berpintu, terlebih lagi sambutan kawat berduri lebih dulu disiapkan petugas, para petani singkong seakan-akan buruan yang akan dimasukan ke dalam perangkap. “Kami sudah bicara. Tapi harga tetap rendah. Kami tetap rugi. Kami tetap miskin,” kata seorang demonstran dari Lampung Tengah.

Gubernur Lampung kemudian merilis pernyataan: “Kami terus membuka ruang dialog. Tapi aspirasi harus disampaikan dengan cara damai dan tidak membahayakan keselamatan.” ujarnya gubernur Rahmat Mirzani Djausal, dengan pengamanan ketat.

Namun di mata petani yang telah berkali-kali mendengar janji dan melihat ladangnya tak lagi mendatangkan untung, damai tanpa perubahan adalah hening yang menyakitkan.

Dan siang itu, di tengah kota yang membisu, jeritan petani tak terdengar di ruang rapat ber-AC. Tapi jeritan itu menggema di jalanan, bersama batu yang dilempar dan air mata yang tumpah. Di tanah yang seharusnya subur oleh singkong, kini tumbuh ketidakadilan yang tak kunjung dipanen.(SM)