Sunday, 18 May 2025

Bukan Barak Militer, Aceh Punya Cara Lebih Bijak Tangani Kenakalan Remaja

Aceh – Di saat beberapa daerah memilih pendekatan keras untuk membenahi kenakalan remaja, Pemerintah Aceh mengambil jalan yang berbeda—lebih lembut, lebih manusiawi, dan mungkin, lebih efektif.

Ketika Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengirim pelajar nakal ke barak militer untuk didisiplinkan, Aceh justru mengetuk pintu rumah para orang tua dan mengajak mereka untuk memeluk anak-anak mereka lebih erat saat malam tiba.

Surat Edaran Nomor 400.3.8/5936 Tahun 2025 yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Aceh menjadi wujud nyata dari pendekatan ini. SE ini melarang siswa keluar rumah setelah pukul 22.00 WIB bukan dengan ancaman, tapi dengan harapan, bahwa malam hari seharusnya menjadi ruang aman bagi remaja, bukan panggung kenakalan.

“Waktu malam harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh murid untuk kegiatan yang bermanfaat dan istirahat cukup,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Marthunis, dalam keterangannya, Senin (5/5/2025). Baginya, larangan ini bukan sekadar upaya meredam keresahan warga akan tawuran dan aksi liar remaja, tapi juga langkah strategis untuk membangun generasi muda Aceh yang sehat secara akademik, emosional, dan sosial.

Alih-alih hukuman fisik dan kekerasan simbolik, Dinas Pendidikan Aceh memilih memperkuat simpul terkecil tapi terpenting dalam pendidikan keluarga. Marthunis mendorong orang tua agar menemani anak-anak mereka di malam hari, entah itu melalui belajar bersama, diskusi santai, atau sekadar percakapan hangat di meja makan. Interaksi itu, katanya, lebih ampuh membentuk karakter daripada derap sepatu lars di halaman barak.

Tak hanya keluarga yang diajak berperan, seluruh elemen masyarakat juga dilibatkan. Kepala satuan pendidikan diminta menyelenggarakan sosialisasi pola asuh remaja, sementara kepala cabang dinas pendidikan diinstruksikan membangun koordinasi lintas sektor—dari camat hingga aparatur gampong—untuk mengawasi dan menjaga anak-anak di lingkungan masing-masing.

Dengan kebijakan ini, Aceh tak hanya menunjukkan kepedulian, tapi juga keberanian: berani percaya pada pendekatan yang merawat, bukan menghakimi.

Dan di tengah sorotan terhadap cara-cara keras yang mungkin mengikis martabat anak, langkah Aceh terasa lebih keren, karena memilih untuk membangun remaja dengan cinta dan kepercayaan, bukan ketakutan.(SM)