Thursday, 21 August 2025

80 Tahun Merdeka, Negara Masih Menetek Darah Rakyat

Benarkah Indonesia 2030 Bisa Bubar

SUMATERA– Delapan dekade setelah Proklamasi 1945, rakyat Indonesia kembali menatap wajah ironi. Negeri yang disebut kaya raya dengan sumber daya alam melimpah ternyata masih menggantungkan hidupnya pada pungutan pajak rakyat.

Data resmi Kementerian Keuangan mencatat, sejak lama lebih dari 70 persen pendapatan negara bersumber dari pajak. Selebihnya, sekitar 30 persen, berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), termasuk layanan publik, dividen BUMN, hingga royalti sumber daya alam. Namun fakta terbaru pada 2025 semakin mengejutkan tarif dan target pajak dinaikkan hingga 80 persen untuk menutup belanja negara yang terus membengkak.

Sopian Seorang pedagang kecil di Palembang Sumatera Selatan, menggambarkan situasinya dengan getir. “Dulu kami bayar pajak terasa ringan paling cuma PBB. Tapi jaman sekarang banyak pajak tambahan mulai dari layanan digital, transportasi, bahkan dari urusan pribadi. Rasanya apa pun yang kami kerjakan, ada ‘hisapan pajak’ untuk negara,” ungkapnya.

Menurutnya saat ini negara justru berlomba lomba memungut pajak dari masyarakat. Jika dahulu pajak hanya dirasakan setahun sekali atau hanya dipungut dari barang barang mewah, namun saat ini seluruh item baik produk sandang, papan, pangan sangat kental aroma pajak negara.

“Seluruh layanan negara, sekarang berpajak semua. tidak ada layanan yang tidak berpajak. Negara pungut pajak di sektor swasta, sektor swasta membebankan pajak ke masyarakat juga,” jelasnya.

Dia mencontohkan dalam sekala kecil, saat masyarakat belanja produk seperti daging ikan laut. Masyarakat mendapat harga tiga kali lipat dari harga ditingkat nelayan. “Nelayanya pakai perahu dikenakan pajak, transportasi angkut ikan dikenakan pajak, pedagang ikan jualan dipajaki lagi. Muaranya masyarakat lagi yang harus membayar pajak itu semua, karena harus membeli ikan dengan harga tinggi,” jelasnya.

Begitu pula dengan pelayan negara, yang semestinya bisa dipermudah namun justru dipersulit. “Kita isi token isi pulsa untuk rumah pribadi Rp100 ribu, tapi yang muncul cuma Rp64 ribu. Sisanya masuk pajak lagi,” jelasnya.

Bagi para buruh, pegawai swasta, hingga pelaku UMKM, pungutan itu seolah menjadi beban ganda. Karena saat ini seluruh lini dan seluruh item sudah dikenakan pajak, termasuk membeli permen di ritel modern  juga langsung dikenakan pajak. Pajak Di satu sisi mereka menopang ekonomi bangsa, di sisi lain kesejahteraan yang diharapkan masih jauh dari nyata.

“80 tahun merdeka, tapi rakyat masih seperti sengsara seperti sapi perah. Pelayanan rendah tidak, protes sedikit rakyat dimaki maki,” keluhnya.

Fakta catatan realita selama 80 tahun ini, sektor pelayanan masyarakat mulai dari pengelolaan SDA, BUMN, Migas maupun pertambangan. Tak mampu memberikan sumbangsi lebih dari 30 persen.

Meskipun terbilang negara tanpa modal mendapatkan aset aset dari warisan kolonial, namun tetap tak mampu berdiri mandiri memberikan sumbangsi dan kontribusi nyata terhadap negara.

Kontribusi royalti tambang dan dividen BUMN masih berada di bawah ekspektasi, kalah jauh dibanding pungutan darah rakyat yang dipumut dari pajak. kemerdekaan yang dulu dibayar dengan darah pejuang kini, ironisnya, digantikan dengan darah rakyat dalam bentuk pajak.

Penghasilan yang tak sepadan, potensi menimbulkan gejolak. Saat ini Upah Minimum di Indonesia masih diluar imajinasi masyarakat internasional.

Banyak masyarakat internasional yang berkunjung ke Indonesia, menebak minimal pendapatan masyarakat Indonesia perbulan berkisar kurang lebih $8000 dolar USD atau  Rp128 juta/bulan dan yang paling rendah menebak hingga $3000 dolar USD setara Rp48 juta/bulan

Padahal UMP yang paling tinggi di Indonesia jauh dari kata mencolok mata. Untuk Peringkat UMP yang paling besar diduduki DKI Jakarta hanya berkisar Rp 5.396.761/bulan, Peringkat kedua Provinsi Papua Rp 4.285.850/bulan, Peringkat ketiga Kepulauan Bangka Belitung tercatat dalam posisi tinggi di peringkat tiga Rp3,8 juta.

Menurut catatan, sebagian besar belanja negara tersedot ke kebutuhan rutin birokrasi—mulai dari gaji aparatur hingga belanja politik. Sementara program pembangunan berbasis rakyat sering kali hanya mendapat “sisa anggaran”.

Rakyat yang Menopang, Negara yang Lupa, Para aktivis menilai kebijakan pajak 2025 ini menegaskan lemahnya kemandirian fiskal. “Kalau 80 tahun merdeka masih menggantungkan hidup negara pada darah rakyat, maka merdeka itu hanya formalitas,” ujar seorang Triwahyuni akademisi dari Universitas Sriwijaya.

Narasi  Angka-angka di APBN seakan mencatat bahwa kemerdekaan Indonesia belum sepenuhnya membebaskan rakyat dari beban penjajahan, hanya berganti wajah dari kolonial ke sistem fiskal.

Perlombaan pemerintah pusat dan daerah dalam menyedot ‘darah rakyat’ berupa pajak, kontras terlihat dalam aksi Penolakan kenaikan pajak PBB sebesar 250 persen di Pati

Puluhan ribu warga dari berbagai kecamatan memadati kantor pemerintahan, menuntut kejelasan soal kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dinilai mencekik rakyat kecil.

Aksi unjuk rasa yang dimotori sejumlah organisasi masyarakat dan petani itu berlangsung ricuh. Massa membentangkan spanduk bertuliskan “ Jangan Rampas Nafas Rakyat”. Teriakan yel-yel hingga revolusi menggema, bahkan beberapa demonstran melakukan pengrusakan akibat kemarahan terhadap kebijakan pemerintah yang seperti lintah darat m nyedot darah rakyat.

“Bagaimana kami bisa bertahan, sawah saja hasilnya pas-pasan. Sekarang PBB dinaikkan 250 persen. Ini bukan solusi, tapi menambah beban,” ujar Sukarman (52), seorang petani dari Kecamatan Tayu.

Kenaikan PBB yang diterapkan Pemkab Pati. menimbulkan keresahan, terutama bagi warga pedesaan yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian dan perkebunan.

“Pemerintah membebani masyarakat yang sedang berjuang di tengah harga kebutuhan pokok naik, dan ekonomi masyarakat sulit” katanya.

Dengan pembebanan pajak fiskal bertubi tubi, hingga 80 Persen pembiayaan negara dibebankan ke masyarakat. Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berpotensi masuk dalam lobang sejarah yang pernah mengubur kejayaan kejayaan sebelumnya.

Seperti kejayaan Kekaisaran Romawi yang tumbang akibat pungutan Pajak Tinggi di Penghujung Kejayaan. Pada puncak kekuasaannya, Kekaisaran Romawi dikenal memiliki sistem perpajakan yang terstruktur dan efisien, menopang pembangunan jalan raya, akuaduk, serta fasilitas umum. Namun, memasuki abad ke-3 Masehi, situasi berubah.

Krisis ekonomi, perang panjang melawan suku barbar, dan membengkaknya biaya birokrasi memaksa pemerintah menaikkan pungutan pajak secara signifikan. Rakyat dan Petani kecil menjadi korban terbesar, diwajibkan membayar pajak tunai dan pajak hasil bumi, bahkan saat gagal panen.

Tekanan ini memicu eksodus penduduk dari lahan pertanian, menurunkan produksi pangan, dan menyebabkan kelaparan. Sejarawan Michael Rostovtzeff menilai, “Pajak yang menindas dan kemerosotan moral masyarakat mempercepat kehancuran ekonomi kekaisaran Romawi.”

Saat serangan barbar memuncak pada abad ke-5, dukungan rakyat terhadap negara runtuh. Keruntuhan Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M menjadi bukti bahwa beban pajak yang berlebihan,telah menghancurkan kejayaan kekaisaran Romawi di masa gemilang.

Sejarah kejayaan kerajaan Prancis Menjelang Revolusi 1789, Ketidakadilan yang Meledakkan Amarah. Menjelang akhir abad ke-18, Prancis menghadapi krisis fiskal serius. Perang berlarut, termasuk keterlibatan dalam Perang Kemerdekaan Amerika, menguras kas negara. Sementara itu, istana Raja Louis XVI tetap mempertahankan gaya hidup mewah, Hedon dan poya poya.

Sistem pajak kala itu sangat timpang, bangsawan dan gereja yang termasuk kelas First Estate dan Second Estate hampir bebas dari pungutan, sementara rakyat di Third Estate menanggung sepenuhnya pajak tanah, pajak penjualan, pajak garam, dan berbagai beban pajak lain.

Ketidakadilan ini memicu Sidang États Généraux pada Mei 1789, yang bukannya menyelesaikan masalah justru menjadi awal Revolusi Prancis. Penyerbuan Bastille pada 14 Juli 1789 menandai runtuhnya monarki absolut. Sejarawan Albert Soboul menegaskan, “Pungutan Pajak yang menggila adalah katalis utama revolusi terbesar dalam sejarah modern Prancis,”

Keruntuhan kejayaannya, Kekaisaran Ottoman menguasai wilayah luas dari Eropa Timur hingga Afrika Utara hingga ke Aceh di Indonesia. Namun, pada abad ke-17 dan ke-18, kebijakan perpajakan yang keliru mempercepat kehancurannya.

Salah satunya adalah sistem tax farming, di mana hak pemungutan pajak diberikan kepada pihak swasta atau pejabat lokal seperti Bupati/walikota jika di Indonesia yang membayar uang muka kepada pemerintah. Demi meraih keuntungan pribadi, para pemungut ini kerap menaikkan tarif pajak secara sepihak yang tidak masuk akal seperti insiden Bupati Pati yang menaikan pajak PBB hingga 250 persen.

Kondisi tersebut menghancurkan sektor pertanian, ketidak percayaan penduduk hingga memicu pemberontakan di berbagai wilayah. Lemahnya ekonomi akibat pajak berlebihan menjadi salah satu faktor yang mempercepat bubarnya Kekaisaran Ottoman pasca-Perang Dunia I.

Sejarah dunia lainnya mencatat, keruntuhan kekaisaran Dinasti Qing abad ke 19 juga karena pungutan pajak berlebihan terhadap rakyat. Ledakan populasi, krisis pangan, dan korupsi di tingkat lokal membuat beban pajak resmi—yang sudah tinggi ditambah pungutan liar dari pejabat daerah.

Situasi itu membuat, Rakyat terdesak akhirnya bangkit melawan. Pemberontakan Taiping (1850–1864) yang dipimpin Hong Xiuquan menewaskan 20 hingga 30 juta jiwa warga sipil maupun militer. Sehingga menjadikannya salah satu perang saudara paling mematikan dalam sejarah Tiongkok.

Kekacauan ini meruntuhkan kekuatan Qing hingga akhirnya kekaisaran tumbang pada 1912. Sejarawan Jonathan Spence menyebut, “Kebijakan pajak yang korup dan menindas rakyat, menjadi akar dari bencana nasional tersebut.”

Kejayaan Indonesia, kaya dengan sumber daya alam melimpah. Namun pembebanan biaya pemerintah sekitar 80 persen dari sektor pajak yang diserap dari masyarakat, sudah diprediksi jauh jauh hari akan membuat kejayaan bumi Nusantara ini tumbang.

Bahkan presiden RI H Prabowo Subianto sendiri pernah mengungkapkan secara langsung, dalam acara konferensi dan temu kader nasional Partai Gerindra di Bogor, Jawa Barat, Oktober tahun 2017 lalu.

Dalam pernyataannya, H Prabowo Subianto mengungkapkan, “Saudara-saudara, kita masih upacara, kita masih menyanyikan lagu kebangsaan, kita masih pakai lambang-lambang negara, gambar-gambar pendiri bangsa masih ada di sini.”
“Tetapi di negara lain, mereka sudah bikin kajian-kajian di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030. Bung, mereka ramalkan kita ini bubar!”
Demikian kata Prabowo. (SM)

Berita Terbaru

80 Tahun Merdeka, Negara Masih Menetek Darah Rakyat
17 Agu

80 Tahun Merdeka, Negara Masih Menetek Darah Rakyat

Benarkah Indonesia 2030 Bisa Bubar SUMATERA– Delapan dekade setelah Proklamasi 1945, rakyat Indonesia kembali menatap wajah ironi. Negeri yang disebut

Jejak BBM “Langka di Pompa, Melimpah di Jerigen”: Dari Musi Rawas, Lubuklinggau hingga Muratara
17 Agu

Jejak BBM “Langka di Pompa, Melimpah di Jerigen”: Dari Musi Rawas, Lubuklinggau hingga Muratara

MUSI RAWAS – Alih-alih menjadi tempat pelayanan publik untuk kebutuhan energi masyarakat, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) 24.316.154 yang

Buruh Diberhentikan Sepihak, Gugat Perusaaan “Sudah Bertahun Kami Menuntut Hak”
05 Agu

Buruh Diberhentikan Sepihak, Gugat Perusaaan “Sudah Bertahun Kami Menuntut Hak”

SUMSEL— Perjuangan tiga buruh yang diberhentikan secara sepihak oleh sebuah perusahaan fasilitas bidang olah raga golf di Palembang memasuki babak

Solusi Kontras, Banjir Bandang wilayah Ulu Muratara
14 Jul

Solusi Kontras, Banjir Bandang wilayah Ulu Muratara

Solusi Kontras, Banjir Bandang wilayah Ulu Muratara //Tebang 1.104 Ha Hutan di Muara Kuis SUMSEL — Deru air bercampur lumpur

Diplomasi dari Belantara: Gajah, Raja, dan Janji Hijau Prabowo-Charles di Jantung Aceh
19 Jun

Diplomasi dari Belantara: Gajah, Raja, dan Janji Hijau Prabowo-Charles di Jantung Aceh

Aceh Tengah – Kabut pagi menyelimuti lereng Pegunungan Peusangan saat langkah kaki gajah Sumatera memecah keheningan hutan. Di antara kicau

Jenderal Gerilya Vs Jenderal Meja
18 Jun

Jenderal Gerilya Vs Jenderal Meja

//Sengketa 4 Pulau dan Bara Dingin di Jantung Istana Jakarta—Drama politik Indonesia kembali bergelora, kali ini dari garis perbatasan laut

berita terkini

80 Tahun Merdeka, Negara Masih Menetek Darah Rakyat
17 Agu

80 Tahun Merdeka, Negara Masih Menetek Darah Rakyat

Benarkah Indonesia 2030 Bisa Bubar SUMATERA– Delapan dekade setelah Proklamasi 1945, rakyat Indonesia kembali menatap wajah ironi. Negeri yang disebut

Jejak BBM “Langka di Pompa, Melimpah di Jerigen”: Dari Musi Rawas, Lubuklinggau hingga Muratara
17 Agu

Jejak BBM “Langka di Pompa, Melimpah di Jerigen”: Dari Musi Rawas, Lubuklinggau hingga Muratara

MUSI RAWAS – Alih-alih menjadi tempat pelayanan publik untuk kebutuhan energi masyarakat, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) 24.316.154 yang

Buruh Diberhentikan Sepihak, Gugat Perusaaan “Sudah Bertahun Kami Menuntut Hak”
05 Agu

Buruh Diberhentikan Sepihak, Gugat Perusaaan “Sudah Bertahun Kami Menuntut Hak”

SUMSEL— Perjuangan tiga buruh yang diberhentikan secara sepihak oleh sebuah perusahaan fasilitas bidang olah raga golf di Palembang memasuki babak

Solusi Kontras, Banjir Bandang wilayah Ulu Muratara
14 Jul

Solusi Kontras, Banjir Bandang wilayah Ulu Muratara

Solusi Kontras, Banjir Bandang wilayah Ulu Muratara //Tebang 1.104 Ha Hutan di Muara Kuis SUMSEL — Deru air bercampur lumpur

Diplomasi dari Belantara: Gajah, Raja, dan Janji Hijau Prabowo-Charles di Jantung Aceh
19 Jun

Diplomasi dari Belantara: Gajah, Raja, dan Janji Hijau Prabowo-Charles di Jantung Aceh

Aceh Tengah – Kabut pagi menyelimuti lereng Pegunungan Peusangan saat langkah kaki gajah Sumatera memecah keheningan hutan. Di antara kicau

Jenderal Gerilya Vs Jenderal Meja
18 Jun

Jenderal Gerilya Vs Jenderal Meja

//Sengketa 4 Pulau dan Bara Dingin di Jantung Istana Jakarta—Drama politik Indonesia kembali bergelora, kali ini dari garis perbatasan laut